SAID TUHULEPuluhan bahkan ratusan tahun lalu. H Agus Salim, salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, secara menarik menanggapi faham cinta Tanah Air dan menghamba pada Tanah Air yang berkembang pesat di awal Abad XX.
Agus Salim di dalam “Fajar Asia” no 170, sebagaimana secara kritis dikutip Bung Karno dalam artikelnya di “Soeloeh Indonesia Moeda”, 1928 (Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 1965), menulis: “..Atas nama ‘tanah air’”, yang oleh beberapa bangsa disifatkan “Dewi” atau “Ibu”, bangsa Perancis dengan gembira menurunkan Lodewijk XIV, penganiaya dan penghisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia. ......... Atas nama “tanah air”, bala tentara Perancis menurut tuntutan Napoleon menakluk-menundukkan segala negeri dan bangsa yang berdekatan dengan dia, menghinakan raja-raja orang dan menindas rakyat bangsa lain.....”Fenomena awal Abad XX sebagaimana digambarkan H Agus Salim itu tidak berbeda jauh dengan apa yang kita rasakan di awal Abad XXI saat ini. Yang berubah hanyalah “berhala”nya. Kalau dahulu bangsa-bangsa yang merasa dirinya paling beradab itu bertindak atas nama “tanah air”, maka sekarang ini mereka bertindak di bawah payung “globalisasi”. Bagi Indonesia saat ini, keadaan belum jauh beranjak. Kesenjangan kaya-miskin masih tetap menjadi kenyataan. Bedanya dengan di zaman kolonial hanyalah dari segi kemerdekaan politik semata; dulu kita dijajah Belanda atas nama cinta “tanah air”, sekarang tidak lagi. Itu saja.
Prof DR Mubyarto menggambarkan keadaan kita di Zaman Kolonial secara menarik dalam artikelnya, “Mengembangkan Ekonomi Rakyat Sebagai Ekonomi Panca Sila”. Sambil mengutip Pire Van der Eng, Prof. Mubyarto menulis:“Tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan “nasional” Hindia Belanda, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%) sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat “njomplangnya” pembagian pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta. Kemerdekaan, betapa pun sangat “mahal” harganya, harus dicapai karena akan membuka jalan ke arah perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia”. (www.ekonomirakyat.org.)
Bagaimana keadaan setelah merdeka, apakah jurang kesenjangan yang sangat lebar itu berhasil ditutup? Ternyata realitas menunjukkan kepada kita bahwa jauh panggang dari api. Tentang hal ini Prof Mubyarto menjelaskan:
Kini setelah Indonesia merdeka 58 tahun, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika jaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) yang menciptakan ketimpangan ekonomi luar biasa, sungguh-sungguh merupakah “bom waktu” yang kemudian meledak sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997), dan Gini Rasio meningkat berturut-turut dari 0,18 menjadi 0,21 dan 0,24". (www.ekonomirakyat.org.)
Persoalannya ialah kita tidak lagi dijajah Belanda, kita sudah menjadi negara merdeka yang berdaulat penuh. Tapi dari sisi ekonomi apakah kita sudah merdeka? Ternyata globalisasi ekonomi muncul sebagai berhala baru yang digunakan oleh negara-negara industri maju untuk ‘menjajah’ kita, sebagaimana pengakuan jujur dari seorang mantan ‘bandit ekonomi’, John Perkins. Dalam bukunya yang terkenal, “Confessions of An Economic Hit Man”, John Perkins secara menarik membongkar hasrat melakukan penghisapan sumber-sumber ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lintas negara (TNCs). Korporasi global memanfaatkan dukungan politik elit di negara-negara kaya dan lembaga-lembaga kreditor internasional menjadikan utang luar negeri sebagai instrument utama untuk mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber-sumber penghidupan rakyat. Kini kekuasaan TNCs telah menaklukkan kekuatan ekonomi negara yang sesungguhnya diperuntukkan bagi menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Tetapi tunggu dulu! Pada saat terjadi krisis moneter yang diikuti krisis ekonomi di Indonesia mulai 1997, para ekonom kebanyakan menganggap ekonomi Indonesia mendekati pingsan. Apa benar demikian? Para ekonom tersebut terpaku pada telaah ekonomi makro yang ditandai oleh angka-angka statistik tentang pertumbuhan: rasio kecukupan modal, indeks harga saham gabungan, tingkat inflasi,
dan lain-lain. Prof Mubyarto termasuk salah seorang ekonom yang melihat sebaliknya. Menurut Prof Mubyarto, yang mati suri itu hanya ekonomi konglomerasi, tetapi ekonomi rakyat justru berkembang.
Kenyataan ini membuka mata pemerintah terhadap kekuatan ekonomi rakyat. Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Kabinet Indonesia Bersatu I, Paskah Suzetta, misalnya, mengakui peranan
besar sektor informal bagi pengurangan kemiskinan di Indonesia. Paskah menyebut sektor industri informal menjadi pendorong menurunnya angka kemiskinan. Angka kemiskinan (sesuai hasil survei BPS Maret 2008) turun menjadi 34,96 juta orang (15 persen dari total penduduk Indonesia) dari 37,17 juta orang pada tahun 2007. Paskah mengungkapkan, penurunan angka kemiskinan sebagian besar diserap sektor informal. Sedangkan pertumbuhan ekonomi selama triwulan 1-2008 mencapai 6,3 persen (dalam Portal Nasional Republik Indonesia, www.indonesia.go.id).
Melihat perkembangan yang menggembirakan itu, mengapa kita tidak mendukung ekonomi rakyat, khususnya sektor informal, agar berkembang semakin pesat selama sektor riil belum pulih? Monggo.
sumber: Suara Muhammadiyah 12/96,
16-31 Juni 2011 hal 17
ss(Ditulis untuk mengenang Allahuyarham Prof DR Mubyarto,
pejuang Ekonomi Kerakyatan yang giARA MUHAMMADIYAH 12 / 96 | 16 - 30 JUNI 2011
hal 17
0 komentar:
Posting Komentar